NON MUSLIM PUN BERDOA
NON MUSLIM PUN
BERDOA
“Paus: Muslim Rohingya saudara
kita”. Kira-kira seperti itulah judul utama koran Republika hal. 1 keluaran
hari Selasa tanggal 29 Agustus 2017. Saya terkejut ketika membacanya. Karena
selama ini hanya ada pikiran negativ yang terlintas jika membaca apapun mengenai
agama-agama selain Islam di Indonesia. Rasa malupun menguak ketika membaca
deretan perkataan yang diucapkan Paus Fransiskus, pimpinan umat Katolik sedunia
tersebut. Bayangkan saja, bagaimana tidak malu? kita, khususnya saya sebagai
muslim di Indonesia saja jarang mendoakan saudara sesama muslim di belahan
dunia manapun, termasuk muslim Rohingya yang kabarnya sudah mencapai 150 jiwa
di sekitar JABODETABEK mengungsi ke tanah air tercinta ini. Bahkan kabarnya
saja, (jujur) saya baru tahu sejak 2016 lalu. Sungguh, betapa malunya diri ini.
“Mari kita berdoa untuk
saudara Rohingya kita,’ ujar Paus Fransiskus-Vatikan yang dikutip dari radio Vatikan
(27/8). Ia meminta Tuhan agar menyelamatkan anggota etnis minoritas tersebut
serta memulihkan kembali hak-hak mereka. Maka pantaskah kita membusungkan dada
karena telah menjadi muslim yang selamat di negeri seribu pulau ini? apa yang
sudah kita lakukan unutk meringankan beban saudara sesama muslim kita? Apakah
hanya dengan mengasihani mereka lewat berita-berita yang beredar di sosial
media saja cukup? Sungguh, kekuatan doa lebih manjur daripada hanya dengan
ungkapan rasa iba terhadap nasib yang menimpa mereka. Lalu bagaimana halnya
dengan doa yang dilantunkan sang Paus tersebut? Terkabulnya doa dari seorang
hamba mungkin saja terjadi, apalagi jika yang mendoakan adalah muslim. Maka
malulah kita sebagai muslim yang hanya bisa diam saja sambil menonton muslim
lainnya ketika tertimpa musibah, yang malah disadarkan oleh doa yang terucap
dari seorang Paus.
Inti dari tulisan ini tidak
lain hanyalah mengenai sikap skeptis kita yang terlalu sering merasa selamat
dari bahaya yang mengancam agama kita. Padahal rasa selamat tersebut harus di
syukuri keberadaannya dengan perbuatan juga. Seperti mendoakan konflik yang
terjadi di Rohingya, Palestine, Irak dan lain-lain. Semua masalah itu timbul
karena perselisihan dan pertentangan keyakinan di garis keras. Padahal jika
semua umat dari agama, suku, atau ras apapun itu, jika hidup berdampingan
saling menghormati dan tidak saling mengkritiki apalagi mneyakiti akan terasa
damai dan sejuk. Apalagi seperti kasus Rohingya yang beralasan bahwa etnis
rohingya di myanmar adalah minoritas yang harus dibasmi. Saya kira bukan karena
itu sebabnya. Pasti ada alasan lain mengapa sampai terjadi penindasan sebegitu
dasyat disana. Salah satunya adalah soal perbedaan keyakinan yang ditakutkan
akan menguasai daerah otonom mereka. Tidak lain dan tidak bukan ketakutan itu
adalah ketakutan akan agama Islam.
Membaca doa sang paus tadi
agaknya membuat hati kita tergerak untuk melakukan hal serupa. Setidaknya kita
bisa mengambil pelajaran yang baik dari paus tersebut. Seperti dalam hadits
bukhari:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما أنّ النبي
صلى الله عليه و سلّم قال : بلّغوا عنّي ولو آية, و حدّثوا عن بني إسرائيل
ولا حرج و من كذب غليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النّار. (رواه البخاري باب ما ذكر
عن بني إسرائيل)
“Berbicaralah tentang bani israil”, kata-kata yang di tebalkan
hurufnya adalah rujukan tulisan saya ini. Maksud dari hadits ini adalah,
diperbolehkan bagi muslim
memperbincangkan perihal bani Israil yang notabenenya bukan dari umat
nabi Muhammad alias non Islam, dengan tujuan mengambil pelajaran dan atau
meniru yang baik-baik dari kaum tersebut.
Maka, konklusi dari tulisan
ini adalah perbaikilah hubungan kita baik itu sesama umat muslim maupun dengan
selainnya. Karena pelajaran tidak hanya disampaikan oleh Allah lewat orang muslim
saja, tetapi bisa jadi lewat jalan yang tidak di duga-duga oleh kita sebagai
manusia, sebagaimana rejeki. Saya rasa kita juga harus mengambil pelajaran yang
baik-baik dan bermanfaat dari mereka yang bukan muslim sekalipun, selama itu
bukan ajaran agamanya. Ingat, pengetahuan manusia bagaikan tinta dari setetes
air di lautan. Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber tulisan:
-
Koran Republika edisi Selasa, 29 Agustus 2017
-
Diktat materi kuliah Hadist semester 3 tentang
hadist tarbawiy, Universitas Darussalam Gontor kampus Mantingan 2017.
Komentar
Posting Komentar